TOMOHON– Bocornya isi percakapan dalam grup WhatsApp salah satu tim pemenangan CSSR di Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) mengejutkan publik.

Grup tersebut diduga diisi oleh sejumlah pejabat, termasuk kepala dinas, lurah, kepala lingkungan (Pala), dan perangkat kelurahan.

Isinya memuat pembahasan kontroversial yang mengarah pada indikasi praktik money politics dan pengarahan petugas Linmas untuk memengaruhi jalannya pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS).

Informasi ini dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial, seperti grup WhatsApp hingga grup Facebook Tomohon Independen dan Tomohon Kota Sejuk.

Masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana pejabat yang seharusnya netral dapat terlibat dalam tim politik seperti itu.

Percakapan yang bocor ini memunculkan dugaan pelanggaran serius terhadap prinsip pemilu yang jujur dan adil.

https://youtube.com/@pronewsnusantara?si=rpMveW8MV756DEwT

Salah satu diskusi dalam grup itu disebut-sebut mengatur strategi pengarahan Linmas di TPS.

Tak hanya itu, percakapan lain menyinggung potensi penggunaan uang untuk memengaruhi pemilih, yang semakin memperkeruh suasana menjelang pemilihan kepala daerah di Tomohon.

“Kalau benar ini dilakukan oleh para pejabat, ini mencoreng netralitas ASN yang wajib menjaga profesionalisme,” ujar Hanny Meruntu, salah satu tokoh masyarakat Tomohon, Jumat (29/11/2024).

Masyarakat menyoroti keterlibatan pejabat aktif dalam percakapan tersebut.

“Kami bingung, kenapa ada pejabat seperti kepala dinas dan lurah yang seharusnya bekerja untuk masyarakat malah terlihat mendukung salah satu pihak secara terang-terangan,” ungkap tokoh masyarakat Josis Ngantung.

Selain itu, warga mendesak agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera mengambil tindakan tegas.

“Jika benar ada pelanggaran, Bawaslu harus menyelidiki dan menindak pihak yang terlibat agar tidak mencoreng demokrasi di Tomohon,” tambah Josis.

Keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam politik praktis jelas melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

Hanny Meruntu menjelaskan, pelanggaran seperti ini tidak hanya mencederai netralitas pejabat publik, tetapi juga dapat berujung pada sanksi administratif hingga pidana.

Dugaan money politics yang disebut dalam grup chat tersebut juga merupakan pelanggaran berat yang diatur dalam Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dengan ancaman hukuman penjara hingga enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.

Banyak pihak mendesak Bawaslu Tomohon untuk segera memeriksa isi percakapan yang bocor tersebut dan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai klarifikasi.

Publik juga meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tomohon memastikan bahwa proses pemilu tetap berlangsung jujur dan adil.

“Kasus ini harus segera diusut tuntas. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan pada demokrasi lokal akibat ulah segelintir oknum,” tegas Hanny Meruntu.

Seiring meluasnya perdebatan di media sosial, tekanan kepada Bawaslu dan KPU untuk bertindak cepat semakin menguat.

Langkah proaktif sangat dibutuhkan agar pesta demokrasi di Tomohon tidak ternodai oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

[**/ARP]