JAKARTA– Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan penting terkait prinsip netralitas dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dalam putusan perkara nomor 136/PUU-XII/2024, MK menegaskan bahwa pejabat daerah dan anggota TNI/Polri bisa dijatuhi pidana jika terbukti melanggar ketentuan netralitas pada Pilkada, termasuk melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Putusan ini mengubah ketentuan dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang sebelumnya hanya menyebutkan pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa.
Kini, dalam norma Pasal 188 yang baru, frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” ditambahkan sebagai subjek hukum yang bisa dikenakan sanksi pidana jika melanggar prinsip netralitas Pilkada.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam pembacaan amar putusan pada Kamis (14/11) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, sebagaimana dilansir dari Antara.
Dalam ketentuannya, Pasal 188 UU 1/2015 yang telah diperbarui kini berbunyi:
“Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”
Pasal ini mengacu pada Pasal 71 UU 10/2016 yang mengatur larangan bagi pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara (ASN), kepala desa, pejabat daerah, dan anggota TNI/Polri untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye Pilkada.
MK mencatat bahwa meskipun UU 10/2016 menambahkan dua subjek hukum baru, yaitu pejabat daerah dan anggota TNI/Polri dalam Pasal 71 ayat (1), norma Pasal 188 UU 1/2015 yang mengatur sanksi pidana belum mengakomodasi perubahan tersebut.
Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara norma primer dan norma sekunder yang memengaruhi kepastian hukum bagi penegak hukum dalam menindak pelanggaran netralitas.
Sebelumnya, Pasal 71 UU 1/2015 hanya mengatur tentang pejabat negara, ASN, dan kepala desa, tanpa mencakup pejabat daerah atau anggota TNI/Polri. Namun, setelah perubahan UU melalui UU 10/2016, cakupan norma Pasal 71 menjadi lebih luas, mencakup pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sebagai subjek hukum yang wajib menjaga netralitas politik.
Atas dasar itulah, MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh konsultan hukum Syukur Destieli Gulo. Dalam putusannya, MK memutuskan untuk menyelaraskan norma Pasal 188 UU 1/2015 dengan perubahan yang tercantum dalam Pasal 71 UU 10/2016, sehingga memperluas cakupan pidana terhadap pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang terbukti melanggar netralitas Pilkada.
Dengan keputusan ini, Mahkamah Konstitusi berharap akan ada peningkatan kepastian hukum terkait penegakan netralitas pejabat daerah dan anggota TNI/Polri dalam Pilkada.
Selain itu, keputusan ini juga diharapkan menjadi langkah penting dalam menjaga integritas dan demokrasi Pilkada di Indonesia, dengan memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pemerintahan dan aparat keamanan dapat menjalankan tugas mereka tanpa campur tangan dalam politik praktis.
Penerapan sanksi pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan ini menjadi penting agar tidak ada pihak yang menyalahgunakan posisi atau kewenangan demi keuntungan politik pribadi atau kelompok tertentu.
[**/ML]